Perang Rusia-Ukraina yang terjadi saat ini memang menjadi topik yang hangat dan terus menjadi sorotan dunia. Konflik yang berlangsung sejak tahun 2014 ini dianggap sebagai perang paling mematikan yang pernah terjadi di Eropa dalam beberapa dekade terakhir. Berbagai pihak telah memperingatkan mengenai eskalasi konflik yang semakin meningkat antara kedua negara, yang berpotensi menjadi bencana kemanusiaan yang lebih besar.
Untuk lebih memahami kronologi perang Rusia-Ukraina dan apa yang menyebabkan Putin murka, artikel ini akan membahas lebih rinci.
Penyebab konflik Rusia-Ukraina
Pada tahun 1991, Ukraina memisahkan diri dari Uni Soviet dalam sebuah referendum. Setelah itu, Rusia, Belarusia dan Ukraina membentuk sebuah persekutuan yang disebut sebagai Commonwealth of Independent States (CIS). Namun, Ukraina merasa bahwa CIS adalah upaya Rusia untuk mengendalikan negara-negara yang pernah menjadi bagian dari Uni Soviet.
Pada tahun 1997, Rusia dan Ukraina menandatangani perjanjian persahabatan yang memungkinkan Rusia untuk mempertahankan kepemilikan mayoritas kapal di armada Laut Hitam yang berbasis di Krimea Ukraina. Rusia juga harus membayar Ukraina biaya sewa karena menggunakan Pelabuhan Sevastopol.
Hubungan antara Rusia dan Ukraina memanas lagi pada tahun 2014, ketika revolusi terjadi menentang supremasi Rusia. Setelah adanya aksi massa anti pemerintah yang menggulingkan Viktor Yanukovych, mantan Presiden Ukraina yang pro-Rusia, Ukraina memperlihatkan keinginannya untuk bergabung dengan Uni Eropa (UE) dan NATO.
Namun, hal ini menimbulkan kemarahan dari Putin karena adanya kemungkinan pendirian pangkalan NATO di dekat perbatasannya. Selain itu, beberapa negara Eropa Timur semakin erat bergabung dengan NATO, seperti Polandia dan negara-negara Balkan.
Pada saat Yanukovych jatuh, Rusia menggunakan kekosongan kekuasaan untuk mencaplok Krimea pada 2014. Rusia juga mendukung separatis di Ukraina timur, Donetsk dan Luhansk, untuk menentang pemerintah Ukraina.
Hal ini menyebabkan konflik bersenjata antara Ukraina dan pasukan separatis yang didukung oleh Rusia. Kedua belah pihak telah menuduh satu sama lain melanggar gencatan senjata yang disepakati pada 2015.
Situasi memanas sejak akhir tahun 2021
Pada November 2021, citra satelit menunjukkan penumpukan pasukan Rusia di perbatasan dengan Ukraina. Intelijen Barat menyatakan bahwa Rusia sedang memobilisasi sekitar 100.000 tentara bersama dengan peralatan militer lainnya, termasuk tank.
Beberapa pihak mengkhawatirkan bahwa Rusia akan melakukan serangan terhadap Ukraina. Namun, Putin tidak merespons, dan latihan militer besar-besaran dilakukan, termasuk di laut dan negara tetangganya Belarusia.
Pada bulan Desember, pemimpin dunia seperti Presiden AS Joe Biden telah memperingatkan Rusia tentang sanksi ekonomi yang akan diberlakukan oleh Barat jika Rusia menyerang Ukraina, karena laporan tentang penumpukan militer di perbatasan semakin intens. Beberapa pemimpin Eropa seperti Presiden Prancis Emmanuel Macron dan Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan juga terlibat dalam negosiasi antara Rusia dan Ukraina.
Di sisi lain, Rusia juga telah melakukan latihan militer besar-besaran sejak awal Januari 2022, dengan seluruh angkatan laut dikerahkan dan latihan dilakukan di darat. Rusia melakukan latihan militer ini dengan bekerja sama dengan Belarusia, negara tetangga yang juga sekutunya.
Rusia merasa khawatir terhadap NATO
Awalnya Rusia mengklaim bahwa mereka tidak berniat menyerang Ukraina, namun meminta jaminan keamanan yang terperinci dari Barat. Salah satu poin dalam tuntutan keamanan tersebut adalah permintaan agar NATO menghentikan semua aktivitas militer di Eropa Timur dan Ukraina. Rusia juga telah mengajukan permintaan agar aliansi tersebut tidak pernah menerima Ukraina atau negara-negara lain yang dahulu merupakan bagian dari Uni Soviet sebagai anggota.
Dalam sebuah wawancara eksklusif dengan CNBC Indonesia pada tanggal 16 Februari, Duta Besar Rusia untuk Indonesia, Lyudmila Georgievna Vorobieva, menegaskan bahwa Rusia tidak pernah berniat menyerang tetangganya itu. Ia menyebut bahwa isu serangan tersebut muncul setelah dihembuskan oleh Amerika Serikat, NATO, dan para aliansinya.
Menurut Vorobieva, situasi konflik antara Rusia dan Ukraina saat ini digunakan sebagai alat untuk mengalihkan perhatian dari keamanan negara Rusia. Dia menyoroti bahwa infrastruktur NATO semakin dekat dengan perbatasan Rusia, dan bahwa ekspansi NATO selama tiga puluh tahun terakhir telah menciptakan ketegangan di perbatasan tersebut.
Vorobieva juga menegaskan bahwa Rusia tidak berniat untuk menyatakan perang terhadap Ukraina, dan bahwa mereka menganggap Ukraina sebagai saudara. Dia menyerukan untuk menghindari salah paham dan menekankan bahwa gagasan memerangi Ukraina tidak masuk akal bagi Rusia. Selain itu, Rusia sedang berusaha mencapai tujuan diplomatik dan menolak tuduhan-tuduhan perang propaganda yang dilontarkan oleh Barat.
Dalam wawancara tersebut, Vorobieva juga membeberkan bahwa NATO telah melakukan lima fase ekspansi, dari tahun 1999 hingga 2020. Hal ini menurutnya merupakan tindakan yang merugikan keamanan Rusia dan membuat negara tersebut merasa terancam.
Alasan Rusia menyerang Ukraina
Banyak ahli percaya bahwa Putin bertujuan untuk memaksa perubahan di Ukraina dengan melancarkan serangan besar di seluruh negeri dan ingin menggulingkan pemerintah Kyiv melalui cara militer.
Meskipun Putin membantah, ada kemungkinan bahwa Rusia akan mengambil alih beberapa wilayah Ukraina. Pada bulan Juli 2021, Putin menulis sebuah essai panjang di mana ia mengatakan bahwa Rusia dan Ukraina adalah “satu orang” dan menuduh Barat merusak Ukraina dan menariknya keluar dari orbit Rusia melalui perubahan identitas yang dipaksakan.
Menurut seorang pejabat senior Kedutaan Besar AS di Jakarta, pelanggaran terang-terangan Rusia terhadap hukum internasional adalah tantangan langsung terhadap tatanan berbasis aturan internasional. Ukraina adalah anggota PBB dan merupakan negara merdeka dan berdaulat.
Jika Rusia diizinkan untuk membatasi kedaulatan Ukraina dengan memaksa aliansi dan kebijakan luar negerinya, itu dapat memberikan contoh bagi orang lain yang ingin memperluas klaim teritorial ilegal, termasuk di Laut China Selatan (LCS). Merusak prinsip-prinsip tatanan berbasis aturan internasional dapat melemahkan fondasi kerja sama internasional, dan pelanggaran Rusia mengancam perdamaian dan stabilitas di benua Eropa.
Dampak Perang Rusia-Ukraina terhadap Indonesia
Perang Rusia-Ukraina yang sedang berlangsung berdampak besar pada Indonesia, mulai dari kenaikan harga makanan, minyak mentah, pupuk, hingga hilangnya potensi ekspor. Meskipun jarak antara Ukraina, Rusia, dan Indonesia terpisah sekitar 9.500 km, perang tersebut telah berdampak pada jutaan rakyat Indonesia. Petani di seluruh negeri mengalami dampaknya karena harga pupuk yang terancam meningkat tajam.
Direktur Jenderal Amerika dan Eropa Kementerian Luar Negeri, I Gede Ngurah Swajaya, memperingatkan bahwa perang Rusia-Ukraina dapat memengaruhi ketahanan pangan Indonesia, terutama karena sebagian besar pasokan pupuk Indonesia berasal dari Belarusia dan Rusia. Pupuk adalah salah satu dari tiga komoditas utama yang diimpor Indonesia dari Rusia. Impor pupuk dari Rusia masih dapat dilakukan meskipun ada konflik, tetapi jalur logistik terganggu dan pembayaran menjadi masalah.
Selain itu, perang Rusia-Ukraina juga menyebabkan kenaikan harga beberapa komoditas pangan impor, seperti kedelai, tepung terigu, dan gandum. Komoditas energi juga tidak terhindarkan dari dampak perang tersebut, terutama harga minyak mentah yang melonjak tajam.
Meskipun Indonesia menjadi penghasil komoditas seperti batu bara, minyak sawit mentah, dan nikel yang harganya naik karena perang, kenaikan harga minyak mentah dapat membuat Indonesia terdampak karena harga BBM dan tarif dasar listrik harus dijaga agar inflasi dan daya beli tetap terjaga.
5 Komentar
Gara-gara saya
Perang teroosss
Uraaaa!!!
Ingat 5 perkara sebelum datang 5 perkara.
Akibat memilih pelawak jadi Presiden