Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) baru-baru ini mengumumkan telah muncul kasus pertama virus Marburg di Guinea Ekuator pada tanggal 13 Februari 2023. Virus ini memiliki sifat yang sangat menular dan mematikan, mirip dengan Ebola.
Juru Bicara Kementerian Kesehatan, Mohammad Syahril, menekankan pentingnya melakukan kewaspadaan dini dan antisipasi terhadap penyakit virus Marburg dalam keterangan tertulis yang dikeluarkan pada 28 Maret 2023.
Meskipun belum ada laporan kasus di Indonesia, namun karena Marburg merupakan salah satu virus paling mematikan, perlu dilakukan antisipasi dan langkah pencegahan agar masyarakat dapat terhindar dari penyebaran virus ini.
Asal Usul dan Penyebaran Virus Marburg
Virus Marburg, anggota keluarga virus Ebola, memiliki banyak kesamaan dengan virus Ebola. WHO menyebutkan bahwa Marburg termasuk dalam kelompok virus demam berdarah dengan tingkat kematian yang sangat tinggi, mencapai 88% tergantung pada jenisnya.
Virus Marburg pertama kali ditularkan melalui zoonosis, artinya ditularkan dari hewan ke manusia. WHO menjelaskan bahwa kelelawar buah Afrika menjadi pembawa utama virus Marburg. Virus ini menyebar melalui kontak langsung dengan cairan tubuh dari kelelawar atau primata. Meskipun kelelawar host alami virus Marburg yaitu Rousettus Aegyptiacus belum ditemukan di Indonesia, wilayah Indonesia termasuk dalam jalur mobilisasi kelelawar ini.
Pada Agustus 2021, virus Marburg terdeteksi pertama kali di Afrika Barat, tepatnya di Guinea setelah seorang pria meninggal akibat terpapar virus tersebut. Sebelumnya, Marburg tidak terdeteksi sejak tahun 2008 dan wabah besar terakhir virus Marburg terjadi di Angola pada tahun 2005.
Gejala Penyakit Marburg Mirip Dengan Penyakit Lainnya
Penyakit virus Marburg, meskipun jarang terjadi, memiliki gejala yang mirip dengan penyakit lain seperti malaria, tifus, dan demam berdarah yang banyak ditemukan di Indonesia. Gejala yang muncul mencakup demam tinggi, sakit kepala, nyeri otot, mual muntah, diare, dan perdarahan pada hidung, gusi, vagina atau melalui muntah dan feses pada hari kelima sampai ketujuh. Seperti halnya Monkeypox, Marburg menyebar melalui kontak kulit-ke-kulit dan dari benda-benda yang terkontaminasi.
Setelah terpapar virus Marburg, gejala biasanya muncul setelah dua hari hingga tiga minggu. Gejala awal meliputi demam tinggi, sakit kepala yang hebat dan ketidaknyamanan, serta diare berair yang parah, sakit perut dan kram. Beberapa penderita juga mengalami ruam yang tidak gatal antara dua hingga tujuh hari setelah gejala awal muncul. WHO sebelumnya menggambarkan penderita Marburg seperti hantu karena mata yang dalam, wajah tanpa ekspresi, dan kelesuan yang ekstrem.
Virus Marburg dapat menyebabkan pendarahan parah yang dapat dimulai seminggu setelah infeksi. Kehilangan darah dan syok sering kali menjadi penyebab utama kematian, biasanya terjadi delapan hingga sembilan hari setelah timbulnya gejala. Oleh karena itu, masyarakat perlu memperhatikan gejala-gejala yang muncul dan segera mencari pengobatan jika terdapat gejala yang mencurigakan.
Belum Ada Vaksin atau Obat untuk Mengatasi Virus Marburg
Virus Marburg merupakan penyakit demam berdarah yang fatalitasnya sangat tinggi dan belum ada vaksin atau obat yang tersedia untuk melawan virus ini. Saat ini, terdapat dua jenis vaksin yang sedang dikembangkan dan sudah memasuki tahap uji klinis fase 1, yakni vaksin Strain Sabin dan vaksin Janssen. Namun, vaksin-vaksin tersebut belum terbukti efektif dalam melindungi dari virus Marburg.
Sampai saat ini, WHO menyatakan bahwa tidak ada pengobatan khusus yang terbukti efektif dalam mengatasi virus Marburg. Pengobatan yang tersedia saat ini hanya bersifat suportif dan simtomatik, yaitu mengobati gejala dan komplikasi yang muncul serta menjaga keseimbangan cairan dan elektrolit dalam tubuh.
Dengan belum adanya vaksin atau obat yang efektif untuk melawan virus Marburg, upaya pencegahan dan deteksi dini merupakan hal yang sangat penting dalam mengatasi penyebaran virus ini. Perlu dilakukan pengawasan ketat dan peningkatan kesadaran masyarakat terhadap virus Marburg agar dapat menghindari penyebaran yang lebih luas.
Virus Marburg Telah Menelan 9 Korban Jiwa di Afrika
WHO melaporkan bahwa hingga kini tanggal 29 Maret 2023, sudah terdapat 16 kasus suspek dan 9 kematian terkait penyakit virus Marburg di Provinsi Kie Ntem, Guinea Ekuatorial. Dari hasil pemeriksaan 8 sampel, salah satunya ditemukan positif terinfeksi virus Marburg. Peristiwa ini dianggap sebagai Kejadian Luar Biasa (KLB) dan diperkirakan telah dimulai sejak 7 Februari 2023. Situasi ini mengkhawatirkan karena virus Marburg memiliki tingkat fatalitas yang tinggi dan dapat menyebar dengan cepat.
Kemungkinan Terjadinya Importasi Virus Marburg di Indonesia Rendah
Pada tanggal 20 Februari 2023, dilakukan penilaian risiko cepat (rapid risk assessment) di Indonesia terhadap penyakit virus Marburg. Berdasarkan hasil penilaian tersebut, kemungkinan adanya kasus impor virus Marburg di Indonesia sangatlah kecil.
Namun demikian, pemerintah telah mengeluarkan Surat Edaran yang mengimbau agar pemerintah daerah, fasilitas pelayanan kesehatan, Kantor Kesehatan Pelabuhan, SDM kesehatan, dan para pemangku kepentingan terkait untuk tetap waspada dan mengantisipasi kemungkinan terjadinya penularan virus Marburg di Indonesia. Hal ini sangat penting untuk dilakukan guna memastikan bahwa virus Marburg tidak menyebar ke Indonesia dan mengancam kesehatan masyarakat.
23 Komentar
Jangan sampai tersebar ke grup WA Emak-emak
Ente kadang kadang ente
Jadi intinya ini kayak virus resident evil ya?
Bodoamet anjng!!
Konstipasi apa lagi neh?
Ya udah undur aja pemilu
Ga habis fikri
WHO release produk baru nih?
Tiap kali menjelang lebaran, kampret emang!!!
Opo neh djancok!!
Tanda tanda akhir bulan
Mohon maaf kita uda kebal
Bisnis baru nih?
Vaksin lagi ayo vaksin ke 15x nya
WHO butuh duit THR kah?
Lebaran tiba Marhaban tiba virus pun tiba, alasan biar PPkM lagi
Ini buatan Mamarika lagi kali biar bisa jualan vaksin
Kapan ya dunia aman tenteram?
Work from home lagi gak nih?
Asek sekolah libur lagi wkwkwk
Here we go again
Kopad koped kopad keped
Pandemi teros, WHO: cuan cuan